Karya In Depth Reporting


ADOPSI TANPA ADAPTASI
     Suatu hal yang lumrah jika budaya dan bahasa selalu mengalami kemajuan yang pesat. Perkembangan tersebut merupakan hasil dari proses interaksi yang sering terjadi dalam kehidupan. Begitu pula dengan Indonesia, Negara yang memiliki budaya dan bahasa yang senantiasa dilestarikan. Namun pada realita yang terjadi di zaman yang serba modern ini, kebanyakan warga Indonesia mengambil konsep dan langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan memicu ketidakrasionalan dalam berpikir, yakni tanpa adanya pedoman hidup yang dijadikan sebagai filter.
Proses berpikir yang semacam ini terus berkembang apabila tidak ada kendali dari diri sendiri. Misalnya mengadopsi budaya yang sekarang lagi trend digunakan. Sebenarnya mengambil konsep dari budaya lain tidak masalah tapi harus ada proses integrasi, dimana seseorang dapat menentukan mana yang baik dan tidak baik untuk diterapkan. Karena pada hakikatnya budaya memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologi yang berbeda-beda serta dipegang teguh. Jikalau pedoman itu tidak ada, maka lambat laun suatu negara akan kehilangan identitasnya. Seperti apa yang dipaparkan Juanah Dian Lestari mahasiswa UNIKAMA ini (21) “karena budaya asing yang masuk Indonesia mayoritas berdampak buruk dan gak baik buat anak-anak ” Terangnya (07/08). Oleh Karena itu sangat dibutuhkan persiapan mental yang matang. 
Imbas yang dirasakan negara Indonesia sendiri tidak hanya sedikit. Bertutur kata yang tidak sopan dan berpakaian terbuka ditempat umumpun kerap terjadi. Dengan adanya fenomena ini harusnya banyak pelajaran yang bisa diambil. Namun apa nyatanya, hanya sedikit yang menggubris akan hal ini. Maka disinilah peran orangtua juga dibutuhkan. Pasalnya, keluarga merupakan lingkungan pertama dimana seorang anak belajar untuk bersosialisasi. Misalnya dalam hal penggunaan bahasa resmi dan non resmi, sopan dan tidak sopan untuk digunakan. “seharusnya orang tua yang berkewajiban untuk mendidik anakya, biar terhindar dari perihal asing yang mengarah pada hal negatif” tutur gadis kelahiran Tulung Agung ini.
Pengambilan konsep budaya asing dewasa kini sering dilakukan dikalangan masyarakat. Apalagi budaya dari barat, pasalnya kebudayaan ini memang mengungguli budaya lain. Sehingga akan berujung dengan ketidakmampuan seseorang menyerap budayanya sendiri. Contoh kecil seperti, kebiasaan sarapan dengan nasi tetapi sekarang berubah sarapan dengan menu fastfood.  Bahkan makan bersamapun kebanyakan memilih berkumpul di cafe dari pada di rumah kerabat. Justru hal inilah awal dari penyebab adanya sifat individualisme. Kebudayaan baru ini terus eksis karena banyak pendukungnya. Tanpa disadari budaya tanpa adaptasi ini semakin marak dan dapat terjadi yang namanya krisis jati diri bangsa Indonesia. 
Kehilangan semacam ini semakin lama akan menyelimuti berputarnya poros kehidupan di Indonesia. “Harus pinter-pinter milih budaya dari luar mbak” Ujar Tika Suryani (19). Pendapat yang seperti ini layak ditiru untuk menghindari fenomena yang bersifat negatif, sehingga bisa menyiapkan masa depan bangsa Indonesia yang lebih maju pemikirannya. “harusnya kan bisa meninggalkan budaya yang tidak baik dan mempertahankan yang baik untuk negeri tercinta ini” jelas mahasiswi UNIKAMA
    Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengetahui akan hal itu, namun tetap saja tidak mengambil sikap yang baik malah diacuhkan dan tidak dianggap serius. Bila dibandingkan dengan teori jati diri bangsa Indonesia sangat timpang kebenarannya, dimana  menurut Titus, 1996:3 menyatakan bahwa pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan. Tampak jelas warga Indonesia sendiri tidak mengindahkan hal itu, berpikir hanya sekedar berfikir tanpa diserap terlebih dahulu. Asal muasal kejadian ini dimulai dari proses saling meniru dan saling mempengaruhi sehingga menyebabkan lunturnya tata nilai yang berlaku di Indonesia. 
“Warga Indonesia seharusnya berpikir untuk melestarikan produk lokal bukannya menjadi pengguna produk luar negeri” Ungkap antika (16). Dimulai sejak dini penanaman akan pengetahuan yang sangat penting ini bertujuan agar generasi berikutnya tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Budaya dan bahasa juga bisa berpengaruh pada hal yang bersifat negatif, cara berpakaian dan cara berkomunikasi misalnya. Selain itu sekarang sudah banyak anak yang masih duduk dibangku SD tapi sudah berani menjalin asmara dan memposting foto mesranya di media sosial. Gadis yang tengah duduk dibangku SMP ini cukup berpikir dewasa, bahwasanya ia menyampaikan gagasannya jika meniru sesuatu harus mempertimbangkan banyak hal. Karena yang disoroti dalam hal ini terkhusus pada anak-anak dan remaja yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Menjadi pribadi yang baik dan berpikir kearah masa depan yang akan datang juga dituturkan oleh gadis berjilbab biru itu (ketika ditemui tim Swarahasta).
Sama halnya dengan pendapat salah satu Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Dr. Rahutami, M.Pd (50)  bahwa penggunaan bahasa yang benar yakni bahasa yang sesuai dengan kaidah dan bahasa yang baik sesuai dengan kondisi dan situasi. 
     Budaya jawa contoh bertemu dengan dosen tapi kita tidak menyapa hal inilah yang timpang dengan budaya Indonesia. Kalau dibarat masuk kelas memakai kaos oblong diperbolehkan, tetapi diIndonesia tidak boleh, maka harus didaptasikan diIndonesia boleh  memakai baju yang berbahan kaos tapi harus berkerah, kalau tidak mematuhi budaya tersebut maka terjadi gegar budaya (kaget dengan budaya lain). Maka orang hidup harus memenuhi kaidah agama, sosial  yang berlaku. Yang sesuai dengan situasi kondisi itu jawabannya. Misalnya memakai baju yang tidak sesuai dengan kondisi. Budaya masuk pola pikir, misalnya menyatukan  budaya itu sulit. Seberapa kuat mempertahankan kaidah yang ada.
Jika dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia hal ini menjadi masalah besar yang harus diselesaikan, karena sekarang pola pemikiran manusia  berevolusi yang kemudian mengarah pada sisi positif dan negatifnya, tanpa disadari bahwa hal itu memerlukan sebuah perbaikan. Manusia pada dasarnya menjalani kehidupan tidak luput dari sebuah pemikiran yang berbeda-beda. Seperti yang dipaparkan Yuyun Suhariami (20) “sekali dilihat bagus langsung ikut-ikutan” tambahnya. Kebanyakkan pemikiran yang seperti inilah yang digunakan. Bukannya tidak bisa bisa berpikir panjang, tapi belum bisa dan belum ada kesadaran tinggi.
  Akan tetapi pola pikir yang logis dan kritis menjadi sebuah pedoman dimana tidak hanya memikirkan sisi positif negatifnya, namun harus melihat bagaimana realita yang sesungguhnya. Menyadari akan pentingnya mempunyai pola pikir yang seperti ini, wawasan kebangsaan merupakan cara untuk mempertahankan jati diri bangsa Indonesia.Sejatinya fungsi jati diri itu sendiri yakni penanda keberadaan atau eksistensi suatu bangsa, pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa daya juang dan kekuatan bangsa serta sebagai pembeda dengan bangsa lain didunia. Mindset warga Indonesia perlu adanya perubahan, berpikir dan berpikir untuk memantapkan hati ketika akan melakukan hal apapun itu sangat penting. Tapi malah kebanyakan warganya hanya memburu pada pengakuan diri  agar dikenal.
Menanggapi masalah yang dialami warga Indonesia, adanya peran pemerintah sangat dibutuhkan serta didukung oleh respon masyarakat. Sesuatu hal yang bisa mencegah peristiwa yang sedang berlanjut ini yaitu pembangunan karakter. Cara yang bisa diambil yakni top down pemerintah dan buttom up masyarakat. Arti dari top down  atau intervensi melalui kebijakan sendiri yaitu pemerintah mengadakan sosialisasi, pengembangan regulasi dan kapasitas, implementasi dan kerjasama serta monitoring dan evaluasi. Usaha ini ditujukan kepada masyarakat dengan harapan tergugahnya kesadaran  untuk mencintai budaya dan bahasa lokal. Terlaksananya program dari pemerintah ini pastinya ada timbal balik dari masyarakat yakni buttom up masyarakat. Dimana pengalaman praktis itu ditemukan oleh warga Indonesia dan memberikan balasan yang sepadan kepada pemerintah demi terciptanya karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Fenomena yang terjadi di Indonesia memang tidak akan ada habisnya entah itu positif maupun negatif. Ketika disodorkan yang baik banyak pula yang menghindar, karena pola pikir orang berbeda-beda begitu juga sebaliknya. Tidak sedikit yang mempertahankan tetapi juga tidak banyak yang meninggalkan budaya lokal yang seharusnya dilestarikan. Seperti apa yang dipaparkan mahasiswi jurusan Pendidikan Ekonomi ini “agar bangsa Indonesia ini menjadi negara yang mandiri, punya kreativitas tinggi dan mematuhi budaya yang ada” tutupnya. Pemaparan ini jelas memberikan motivasi bagi siapapun supaya memakai filter dulu sebelum melakukan penyerapan  dalam hal apapun. (DINISETYA/HMJF)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Bimbingan Dan Konseling

Contoh Bisnis Plang (Uasaha Jamur Krispi)

Materi Ekonomi Publik (Eksternalitas)